Paradigma penelitian hukum menjadi pijakan utama dalam menelaah realitas hukum secara ilmiah. Di dunia akademik, khususnya dalam penulisan skripsi, tesis, atau disertasi di bidang hukum, pemahaman terhadap paradigma menjadi sangat penting agar arah dan tujuan penelitian menjadi jelas dan terarah.
Melalui paradigma penelitian hukum, peneliti dapat menentukan pendekatan yang paling tepat, baik dalam memahami norma maupun dalam menganalisis praktik hukum di masyarakat. Namun, penggunaan paradigma ini tidak boleh sembarangan—perlu didasari pada rumusan masalah serta karakteristik objek hukum yang diteliti.
Baca Juga : Mengenal Paradigma Penelitian Ekonomi
Pengertian dan Fungsi Paradigma dalam Penelitian Hukum
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami apa itu paradigma dalam konteks penelitian hukum.
Paradigma secara umum dapat diartikan sebagai cara pandang atau perspektif ilmiah dalam memahami suatu fenomena. Dalam bidang hukum, paradigma berfungsi sebagai kerangka berpikir yang membantu peneliti memilih pendekatan, metodologi, hingga teknik analisis yang tepat.
Paradigma penelitian hukum mencerminkan bagaimana peneliti memposisikan hukum itu sendiri: apakah hukum dipandang sebagai norma yang tertulis dalam peraturan, sebagai perilaku sosial yang berkembang di masyarakat, atau bahkan sebagai kekuasaan yang sarat kepentingan. Setiap pemahaman ini akan menentukan arah metodologi penelitian secara menyeluruh.
Paradigma juga berfungsi untuk menjaga konsistensi logis dalam penelitian. Dengan paradigma yang tepat, setiap bagian dari penelitian, mulai dari rumusan masalah hingga analisis data, akan saling berkaitan secara utuh dan sistematis.
Jenis-jenis Paradigma dalam Penelitian Hukum
Setiap peneliti hukum perlu memahami bahwa tidak ada satu paradigma tunggal yang berlaku untuk semua penelitian. Ada beberapa jenis paradigma penelitian hukum yang berkembang dan sering digunakan dalam kajian hukum akademik.
- Paradigma normatif (dogmatik hukum)
Paradigma ini melihat hukum sebagai sistem norma yang terstruktur. Penelitian yang menggunakan paradigma ini biasanya bersifat kualitatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, konseptual, atau historis. Tujuannya adalah menelaah isi, asas, dan struktur norma hukum. - Paradigma empiris (sosiologis hukum)
Paradigma ini menganggap hukum bukan hanya teks normatif, tetapi juga sebagai bagian dari perilaku sosial. Dalam pendekatan ini, peneliti lebih menekankan pada observasi dan data empiris, seperti wawancara atau survei, untuk melihat bagaimana hukum dijalankan di masyarakat. - Paradigma kritis (socio-legal studies)
Paradigma ini memandang hukum dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Pendekatannya sering kali interdisipliner dan bertujuan untuk mengkritisi praktik hukum yang timpang atau tidak adil.
Pemilihan jenis paradigma akan sangat menentukan jenis data yang dikumpulkan dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian.
Paradigma Normatif dan Karakteristiknya
Paradigma normatif adalah paradigma yang paling umum digunakan dalam penelitian hukum di Indonesia, terutama dalam studi hukum positif.
Dalam pendekatan ini, hukum dipahami sebagai aturan tertulis yang berlaku dalam sistem perundang-undangan. Peneliti akan menelusuri norma-norma hukum untuk merumuskan doktrin hukum, menyusun argumentasi yuridis, atau membandingkan norma dari satu regulasi dengan regulasi lainnya.
Paradigma ini cocok digunakan saat penelitian bertujuan untuk:
- Menemukan kekosongan hukum
- Memberikan interpretasi hukum
- Mengusulkan formulasi hukum baru
Meski paradigma normatif sering dianggap klasik, keberadaannya tetap penting karena menjadi landasan analisis legal-formal yang kuat dan sistematis.
Paradigma Empiris dalam Kajian Hukum
Tidak semua persoalan hukum bisa diselesaikan hanya melalui pendekatan normatif. Di sinilah pentingnya paradigma penelitian hukum yang bersifat empiris.
Paradigma ini menekankan bahwa hukum juga merupakan gejala sosial yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, peneliti perlu turun langsung ke lapangan untuk mengamati bagaimana hukum dijalankan oleh aparat, bagaimana masyarakat mematuhi atau melanggar hukum, hingga sejauh mana hukum mampu menyelesaikan konflik.
Penelitian hukum dengan paradigma empiris biasanya menggunakan:
- Observasi lapangan
- Wawancara
- Kuesioner
- Dokumentasi praktik hukum
Paradigma ini sangat membantu dalam melihat gap antara das sollen (apa yang seharusnya) dan das sein (apa yang terjadi). Ketika hukum di atas kertas tidak sesuai dengan kenyataan, paradigma ini dapat mengungkap sebab dan akibatnya secara nyata.
Paradigma Kritis: Melampaui Positivisme Hukum
Paradigma kritis adalah bentuk refleksi yang mendalam terhadap peran hukum dalam kehidupan sosial. Dalam paradigma ini, hukum tidak dipandang netral, melainkan sarat kepentingan. Peneliti yang menggunakan pendekatan ini berusaha membuka lapisan-lapisan dominasi yang tersembunyi di balik teks hukum atau kebijakan publik.
Paradigma penelitian hukum dalam perspektif kritis umumnya berpijak pada teori sosial, seperti teori kritis Frankfurt, post-strukturalisme, atau feminisme hukum. Tujuan utamanya bukan hanya mendeskripsikan hukum, tetapi juga membongkar relasi kekuasaan yang bersembunyi di dalamnya.
Paradigma kritis penting terutama untuk:
- Mengungkap ketidakadilan dalam penegakan hukum
- Mengkritisi ideologi di balik pembentukan hukum
- Mengembangkan hukum yang lebih berkeadilan sosial
Pendekatan ini cocok untuk penelitian yang bersifat progresif, kontekstual, dan berpihak pada kelompok rentan.
Memilih Paradigma yang Tepat Sesuai Tujuan Penelitian
Memilih paradigma bukan soal selera pribadi, melainkan harus didasarkan pada rumusan masalah dan tujuan penelitian. Oleh karena itu, seorang peneliti hukum wajib terlebih dahulu memahami fokus kajiannya sebelum memutuskan akan menggunakan paradigma normatif, empiris, atau kritis.
Jika penelitian berfokus pada ketentuan perundang-undangan dan struktur norma, maka paradigma normatif lebih tepat digunakan. Namun jika penelitian ingin menggali praktik hukum di masyarakat, maka pendekatan empiris lebih relevan. Sebaliknya, jika penelitian bertujuan membongkar ketimpangan sistem hukum, maka paradigma kritis menjadi pilihan ideal.
Paradigma yang tepat akan membuat kerangka berpikir peneliti menjadi konsisten dan solid, serta menghasilkan kesimpulan yang logis dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum.
Paradigma dalam Penelitian Hukum Interdisipliner
Dalam perkembangan akademik modern, banyak penelitian hukum yang mengadopsi pendekatan interdisipliner. Artinya, hukum tidak dikaji secara mandiri, melainkan dikaitkan dengan disiplin lain seperti ekonomi, politik, sosiologi, dan lingkungan.
Paradigma penelitian hukum dalam pendekatan interdisipliner memungkinkan peneliti menjawab persoalan hukum dengan lebih holistik. Misalnya:
- Penelitian tentang hukum lingkungan memerlukan pendekatan ekologi dan hukum sekaligus.
- Kajian tentang tindak pidana korupsi bisa dianalisis dengan kombinasi paradigma hukum dan ekonomi.
Dengan pendekatan ini, hukum dapat dipahami sebagai bagian dari sistem sosial yang kompleks, sehingga solusi yang ditawarkan lebih menyentuh akar permasalahan.
Tantangan dalam Penggunaan Paradigma Penelitian Hukum
Meskipun paradigma sangat penting, penggunaan paradigma juga tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman mendalam mahasiswa atau peneliti pemula terhadap jenis-jenis paradigma dan konsekuensinya.
Masalah lain adalah kecenderungan untuk mencampuradukkan paradigma tanpa dasar metodologis yang kuat. Misalnya, menggunakan data empiris tetapi tetap menyusun kerangka normatif, tanpa penjelasan logis mengenai alasannya.
Untuk itu, dibutuhkan pelatihan metodologi hukum yang lebih kuat dan kesadaran akademik untuk tidak hanya fokus pada isi hukum, tetapi juga pada kerangka berpikir ilmiah yang menyusunnya.
Baca Juga : Etika Laporan Penelitian dalam Praktik Akademik
Kesimpulan
Paradigma penelitian hukum bukan sekadar istilah metodologis, tetapi merupakan fondasi berpikir dalam menyusun dan melaksanakan penelitian yang sistematis dan sahih secara ilmiah. Paradigma menentukan arah penelitian, pendekatan yang digunakan, serta makna yang dihasilkan dari temuan hukum.
Dalam konteks hukum, paradigma yang umum digunakan meliputi paradigma normatif, empiris, dan kritis. Masing-masing memiliki karakteristik, kekuatan, dan keterbatasan tersendiri. Oleh karena itu, peneliti perlu memahami betul konteks masalah hukum yang dikaji agar dapat memilih paradigma yang tepat.
Dengan menggunakan paradigma yang sesuai, penelitian hukum tidak hanya akan bermutu secara akademik, tetapi juga relevan secara sosial dan praktis. Paradigma bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari ruh keilmuan hukum itu sendiri.
Terakhir, apakah Anda seorang peneliti atau akademisi yang ingin berkontribusi lebih luas pada ilmu pengetahuan? Atau mungkin Anda ingin membawa dampak nyata melalui penelitian dan pengabdian di bidang studi Anda?
Tunggu apalagi? Segera hubungi Admin Revoedu sekarang! Mulailah langkah baru Anda dalam kolaborasi ilmiah bersama kami. Jangan lupa bergabung di Komunitas Revoedu untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai layanan, peluang terbaru, serta tips dan panduan terkait dunia akademik. Kunjungi juga Web Revoedu untuk membaca artikel-artikel bermanfaat lainnya. Bersama Revoedu, capai impian akademik Anda dengan lebih mudah!

